PENANGANAN PREMANISME DIMULAI DARI HULU SAMPAI HILIR
Maraknya premanisme akhir-akhir ini yang terjadi di beberapa daerah di wilayah Indonesia seperti Tarakan, Kendari, Makassar, bahkan yang baru saja terjadi di jalan Ampera Jakarta harus segera dicarikan penyelesaiannya. Penyelesaian premanisme ini tidak hanya sekedar ditangkapi saja, tapi harus dimulai dari hulu sampai ke hilir.
Wakil Ketua Komisi I TB. Hasanuddin menyampaikan hal itu dalam Dialog Interaktif bersama RRI Pro 3, Jum’at (1/10) di Studio Mini RRI DPR.
Hasanuddin mengatakan, selain harus dimulai dari hulu sampai hilir, penyelesaian premanisme di negeri ini harus ditangani terintegrasi., termasuk melibatkan lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan harus lebih banyak memberikan pendidikan keterampilan sebagai bekal seseorang dalam mencari pekerjaan.
Dia menambahkan, jika kita mengupas dari sis-sisi realita di lapangan, premanisme tidak lepas dari masalah-masalah sosial dan juga masalah-masalah ekonomi. Ketika orang atau sekelompok orang tidak memiliki lapangan pekerjaan atau sulit mendapatkan lapangan pekerjaan, sementara dia tidak mempunyai ketrampilan, maka akhirnya bisa jadi preman. “Orang itu barangkali dengan berbagai alasan menjadikan kriminal sebuah pilihan termasuk didalamnya mencopet, menipu, merampok,” katanya.
Menurut Hasanuddin, jarang orang terlibat masuk dalam kegiatan premanisme tanpa motivasi. Dan yang sering dijadikan alasan adalah mencari uang, “Jadi yang saya perhatikan bukan hanya iseng semata tapi ada sesuatu yang ingin disampaikan,” kata politisi F-PDIP ini.
Jika premanisme ini berkembang pesat menurut Hasanuddin, karena ada ruang, kondisi yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam hal ini, negara tidak mampu lagi memberikan perlindungan hukum termasuk didalamnya lapangan bekerja yang baik.
Selain itu, aparat hukum juga tidak bertindak tegas sebagaimana mestinya, Di era reformasi ini, ada semacam kegamangan, ketakutan bahkan keraguan yang akhirnya menjadi sebuah pembiaran. “Dan di sini ujung-ujungnya negara juga membiarkan,” tambahnya.
Sebagai contoh, adanya kelompok orang tertentu yang mempunyai uang yang lebih mempercayakan masalah keamanan kepada etnis tertentu. Padahal, katanya, mereka tahu persis orang-orang tersebut bukan orang yang berwenang untuk melakukan hal itu.
Masalahnya di sini, kenapa tidak diserahkan kepada mereka-mereka atau aparat yang sesungguhnya atau aparat yang memang berhak mengamankan ketika terjadi suatu masalah. Begitu juga para banker juga lebih mempercayakan masalah keamanan kepada etnis tertentu. Kondisi itu, mau tidak mau suka atau tidak suka sudah mengadu domba, menjustifikasi etnis yang digunakan jasanya. Dan di sini, katanya, aparat dan negara membiarkan hal itu terus berlangsung.
Dalam hal ini, yang harus dilakukan oleh negara yang utama selain memberikan lapangan pekerjaan yang memadai, penegakan hukum juga harus berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, pemerintah harus memberikan kesadaran bahwa cara-cara seperti itu tindakan yang salah. Karena sebenarnya, mereka juga tidak menghendaki hidup, bekerja, mencari nafkah dengan cara-cara kekerasan seperti itu.
Dalam menyelsaikan masalah premanisme ini, Hasanuddin melihat acuan-acuan dasar hukum itu sudah cukup, tinggal aplikasinya di lapangan. Dan aplikasi di lapangan itu tergantung dari operator-operatornya, khususnya aparat hukum. (tt)